Pada tanggal 03 Februari 2016 Mahkamah Agung RI telah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan yang menggantikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Terdapat banyak perubahan yang dibawa
oleh Perma Nomor 1 tahun 2016 tersebut. Salah satudiantaranya adalah mengenai iktikad
baik para pihak yang berperkara dalam menempuh mediasi. Mengenai Iktikad Baik ini sebelumnya telah diatur dalam
Perma Nomor 1 tahun 2008, akan tetapi pengaturannya tidak terlalu rinci.
Pasal
yang mengatur mengenai Iktikad Baik dalam proses mediasi berdasarkan Perma
Nomor : 1 tahun 2008 adalah Pasal 12 mengenai “Menempuh Mediasi dengan Iktikad
Baik” yang berbunyi : “(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan
iktikad baik, (2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses
mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi
dengan iktikad tidak baik.”Pengaturan mengenai iktikad baik dalam Perma ini
hanya sebatas ketentuan bahwa para pihak wajib menempuh mediasi dengan iktikad
baik dan jika salah satu pihak
beriktikad tidak baik maka pihak lainnya dapat menyatakan mundur. Tidak
dijelaskan lebih lanjut mengenai keadaan / kondisi yang bagaimana para pihak
dapat dinyatakantidak beriktikad baik, serta tidak adanya konsekuensi yang
diterima oleh pihak yang dinyatakan tidak beriktikad baik (terdapat pengaturan
dalam Pasal 23 ayat (3) bahwa Hakim hanya akan menguatkan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut
sesuai kehendak para pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan
pihak ketiga, dapat dieksekusi dan dengan iktikad baik. Ketentuan tersebut
bukan akibat hukum apabila salah satu / para pihak dinyatakan tidak beriktikad
baik. Ketentuan tersebut hanya mengatur akibat hukum apabila materi dari
kesepakatan perdamaian yang dibuat mengandung iktikad tidak baik)
Pengaturan mengenai iktikad baik ini kemudian diperbarui
dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016 yang menggantikan Perma Nomor 1 Tahun 2008.
Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2016 mengatur mengenai Iktikad Baik Menempuh
Mediasi. Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa : “Para Pihak dan/atau kuasa
hukumnya wajib menempuh mediasi dengan iktikad baik.” Amanat utama dalam Pasal
7 ayat (1) ini bahwa mediasi wajib
ditempuh dengan iktikad baik, namun yang berbeda dengan Perma Nomor 1 tahun
2008, dalam Perma nomor 1 Tahun 2016, selain para pihak, ditegaskan pula bahwa kuasa
hukum dari para pihak juga harus beriktikad baik dalam menempuh mediasi.
Kemudian Pasal 7 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 menjelaskan kondisi dimana
salah satu / para pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dikatakan beiktikad tidak
baik. Kondisi pertama, apabila salah
satu / para pihak dan/atau kuasa hukumnya tidak hadir setelah dipanggil secara
patut (minimal 3 hari kerja; Pasal 122 HIR) 2 kali berturut-turut dalam
pertemuan Mediasi tanpa alasan sah (kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan
hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter, dibawah
pengampuan, mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri,
atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi, atau pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan; Pasal 6 ayat (4) Perma Nomor 1 tahun 2016). Kondisi kedua, apabila salah satu /
para pihak dan/atau kuasa hukumnya menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi
tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara
patut (minimal 3 hari kerja; Pasal 122 HIR) 2 kali berturut-turut tanpa alasan
sah (merujuk pada Pasal 6 ayat (4) Perma Nomor 1 tahun 2016). Kondisi ketiga, apabila salah satu /
para pihak dan/atau kuasa hukumnya tidak hadir berulang-ulang yang menggangu
jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan yang sah (merujuk pada Pasal 6 ayat (4)
Perma Nomor 1 tahun 2016). Jadi pihak yang menghadiri pertemuan mediasi
pertama, namun pada pertemuan-pertemuan berikutnya tidak hadir meski telah
dipanggil secara patut akan dinyatakan beriktikad tidak baik (kondisi kedua)
ataupun ketidakhadiran salah satu pihak / para pihak dan/atau kuasa hukumnya
yang berulang-ulang sehingga menggangu jadwal pertemuan mediasi (kondisi
ketiga). Kondisi keempat, apabila
salah satu / para pihak dan/atau kuasa hukumnya menghadiri pertemuan mediasi,
tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain.
Pada kondisi ini, meski pihak dan/atau kuasa hukumnya hadir, dapat dikatakan
beriktikad tidak baik apabila tidak mengajukan resume perkara atau tidak
menanggapi resume perkara pihak lain. Kondisi
kelima, apabila salah satu / para pihak dan/atau kuasa hukumnya tidak
menandatangani konsep kesepakatan perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan
sah.
Pembaruan berikutnya terkait iktikad baik adalah mengenai
konsekuensi yang diterima pihak yang dinyatakan beriktikad tidak baik. Mediator
yang menyatakan salah satu / para pihak tidak beriktikad baik akan
menyampaikannya kepada Hakim Pemeriksa Perkara (Majelis Hakim yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara (Pasal 1 butir 12
Perma Nomor 1 Tahun 2016) bahwa mediasi tidak berhasil / tidak dapat
dilaksanakan (Pasal 32 Perma Nomor 1 Tahun 2016). Pihak yang dinyatakan tidak
beriktikad baik akan menanggung akibat hukum. Penggugat yang dinyatakan tidak
beriktikad baik, akan menerima akibat hukum berupa(Pasal 22 Perma Nomor 1 tahun
2016):
-
Gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa perkara;
-
Menanggung biaya mediasi;
dan
-
Menanggung biaya
perkara.
Sedangkan tergugat yang dinyatakan tidak beiktikad baik akan menerima
akibat hukum berupa kewajiban pembayaran biaya mediasi dan apabila kedua pihak
(penggugat dan tergugat) dinyatakan tidak beriktikad baik maka Hakim Pemeriksa
Perkara menyatakan gugatan tidak dapat diterima tanpa penghukuman biaya mediasi (Pasal 23 Perma Nomor 1 Tahun 2016). (By : Devina Puspita Sari, SH ; Staf Kepegawaian Pengadilan Negeri Tobelo)
No comments:
Post a Comment