Pengaturan
mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 / 2011 terdiri atas :
a.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang
/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan
Daerah Kabupaten / Kota
Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarkhi sebagaimana dimaksud
di atas.
Selanjutnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 / 2016 bahwa jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Sedangkan
yag dimaksud dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Adanya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 didasarkan pada pemikiran bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan
harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem
hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya
yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pancasila
memiliki posisi yang sangat penting dalam sistem hukum nasional. Pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengatur bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara.
Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan / Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan
Pancasila sebagai dasarr ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara
sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Selanjutnya
dalam Pasal 3 ayat (1) mengatur posisi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai berikut : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Yang
dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan sumber
hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, yang meliputi :
a. Kejelasan
tujuan;
Bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat;
Bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
Bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
d. Dapat
dilaksanakan;
Bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus diperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan
dan kehasilgunaan;
Bahwa
setia[ {eraturan {erundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
f. Kejelasan
rumusan;
Bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusun
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta
bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan
Bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
No comments:
Post a Comment