01 January 2017

Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi Berdasarkan Perma Nomor 13 Tahun 2016

Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi sebagai entitas atau subjek hukum yang keberdaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan berbagai tindakan pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.


Perbuatan pidana atau tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu.

Yang dimaksud dengan tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan llain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi

Dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas, oleh karena itu Mahkamah Agung Republik Indonesia di akihir tahun 2016 yaitu pada tanggal 21 Desember 2016 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Pasal 2 Perma No. 13 Tahun 2016 tersebut mengatur bahwa Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara pidana oleh Korporasi adalah untuk :
a.    Menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan / atau Pengurus;
b.    Mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/ atau Pengurus; dan
c.    Mendorong efektifitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan / atau Pengurus.

Pertanggungjawaban Korporasi

Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi. Namun bagaimana menentukan kesalahan Korporasi sehingga Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi ? Pasal 4 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam menjatuhkan pidana Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagai berikut :
a.    Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
b.    Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana ; atau
c.    Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Yang juga dipertegas dalam Perma tersebut adalah mengenai pertanggungjawaban Korporasi jika seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti atau meninggal, dalam Pasal 5 Perma No. 13 Tahun 2015 mengatur sebagai berikut :
“Dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban Korporasi.”

Yang juga menjadi catatan adalah dalam Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur mengenai pertanggungjawaban Korporasi yang mempunyai hubungan dengan Korporasi yag terlibat tindak pidana :
“Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi dengan melibatkan induk Korporasi dan / atau Korporasi subsidiari dan / atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing.”

Bagaimana pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan, Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi ? Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau Korporasi hasil peleburan. Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Korporasi yang dipisahkan dan / atau Korporasi yang melakukan pemisahan dan / atau kedua-duanya sesuai dengan peran yang dilakukan. Dalam hal Korporasi sedang dalam proses pembubaran, maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan terhadap Korporasi yang akan dibubarkan (Pasal 7 Perma No. 13 Tahun 2016).

Korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana, akan tetapi terhadap aset milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan dan / atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakkan hukumnya dilaksanakan sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Gugatan terhadap aset milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan dan / atau merupakan hasil kejahatan dapat diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau pihak ketiga yang menguasai aset milik Korporasi yang telah bubar tersebut.


Prosedur Pemeriksaan Korporasi

Pemanggilan dan pemeriksaan Pengurus yang diajukan sebagai saksi, tersangka dan / atau terdakwa dilaksanakan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku (Pasal 18 Perma No. 13 Tahun 2016). Lalu bagaimana prosedur pemeriksaan terhadap Korporasi ? Berikut di paparkan di bawah ini.

1. Pemanggilan

Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap Korporasi, harus dilakukan panggilan terhadap Korporasi, adapun tata cara sebagai berikut :
a.    Pemanggilan terhadap Korporasi ditujukan dan disampaikan kepada Korporasi ke alamat tempat kedudukan Korporasi atau alamat tempat Korporasi tersebut beroperasi.
b.    Jika tidak dikrtahui alamatnya  maka pemanggilan ditujukan kepada Korporasi dan disampaikan melalui alamat tempat tinggal salah satu Pengurus.
c.    Dalam hal tempat tinggal maupun tempat kediaman Pengurus tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui salh satu media massa cetak atau elektronik dan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut.

Adapun isi surat panggilan terhadap Korporasi setidaknya memuat :
a.    Nama Korporasi;
b.    Tempat kedudukan;
c.    Kebangsaan Korporasi;
d.    Status Korporasi dalam perkara pidana (saksi / tersangka / terdakwa);
e.    Waktu dan tempat dilakukannya pemeriksaan; dan
f.     Ringkasan dugaan peristiwa pidana terkait pemanggilan tersebut.

2. Penyidikan

Pemeriksaan terhadap Korporasi sebagai tersangka pada tingkat penyidikan diwakili oleh seorang Pengurus. Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap Korporasi memanggil Korporasi yang diwakili Pengurus dengan surat panggilan yang sah.

Pengurus yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan dan telah dipanggil dengan surat panggilan yang sah, wajib hadir dalam pemeriksaan Korporasi.

Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak hadir, menolak hadir atau tidak menunjuk Pengurus untuk mewakili Korporasi dalam pemeriksaan maka penyidik menentukan salah seorang Pengurus untuk mewakili Korporasi dan memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa Pengurus tersebut secara paksa.

3. Dakwaan

Surat dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bagaimana bentuk surat dakwaan terhadap Korporasi ?

Bentuk surat dakwaan merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut :
a.    Nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan / atau nomor anggaran dasar / akta pendirian / peraturan / dokumen / perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan / usaha dan identitas pengurus yang mewakili; dan.
b.    Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan terhadap Korporsi dan / atau Pengurus dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama (Psal 19 Perma No. 13 Tahun 2016)

4. Persidangan

Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat penyidikan wajib pula hadir pada pemeriksaan Korporasi dalam sidang pengadilan. Bagaimana jika Pengurus tersebut tidak hadir ?

Dalam hal Pengurus yang mewakili Korporasi sebagai terdakwa telah dipanggil secara patut tidak hadir dalam pemeriksaan tanpa alasan yang sah, hakim / ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum agar memanggil kembali Pengurus yang mewakili Korporasi tersebut untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Namun apabila Pengurus tersebut tidak hadir maka hakim / ketua sidang memerintahkan penuntut umum supaya Pengurus tersebut dihadirkan secara paksa pada persidangan berikutnya.

Keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah. Sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang lainnya (Pasal 14 Perma No. 13 Tahun 2016).

Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa. Namun tidak menutup bahwa Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau terdakwa dapat mewakili Korporasi (Pasal 15 Perma No. 13 Tahun 2016).

Bagaimana perlakuan terhadap terhadap Korporasi yang tersangkut tindak pidana yang dikhawatirkan membubarkan diri saat sedang menjalani proses pemeriksaan ? Dalam hal ada kekhawatiran Korporasi membubarkan diri dengan tujuan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana, baik yang dilakukan sesudah maupun sebelum penyidikan, Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penyidik atau penuntut umum melalui suatu penetapan dapat menunda segala upaya atau proses untuk membubarkan Korporasi yang sedang dalam proses hukum sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud hanya dapat diberikan sebelum permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau permohonan pailit didaftarkan. Pengecualian : penetapan pengadilan tidak dapat diajukan terhadap Korporasi yang bubar karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam dokumen pendirian (Pasal 16 Perma No. 13 Tahun 2016).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang mewakili Korporasi jika terjadi penggabungan atau peleburan, pemisahan, maupun pembubaran Korporasi ?  Pasal 17 ayat (1) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) maka pihak yang mewkili Korporasi dalam pemeriksaan perkara adalah Pengurus saat dilakukan pemeriksaan perkara. Berikut Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa :
Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau Korporasi hasil peleburan.

Selanjutnya dalam Pasal 17 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam hal terjadi pemisahan Korporasi dalam pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) adalah Pengurus dari Korporasi yang menerima peralihan setelah pemisahan dan / atau yang melakukan pemisahan. Berikut Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa:
Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Korporasi yang dipisahkan dan / atau Korporasi yang melakukan pemisahan dan / atau kedua-duanya sesuai dengan peran yang dilakukan.

Selanjutnya dalam Pasal 17 ayat (3) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam proses pembubaran maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3) adalah likuidator. Berikut Pasal 7 ayat (3) mengatur bahwa :
Dalam hal Korporasi sedang dalam proses pembubaran, maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan terhadap Korporasi yang akan dibubarkan.

Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi

Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata (Pasal 20 Perma No. 13 Tahun 2016.

Penanganan Harta Kekayaan Korporasi

Harta kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau dapat mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya benda tersebut dapat diamankan atau dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Harta kekayaan yang dilelang , tidak dapat dibeli oleh tersangka atau terdakwa dan / atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat kedua, hubungan semenda, hubungan keuangan hubungan kerja / manajemen, hubungan kepemilikan dan / atau hubungan lain dengan tersangka atau terdakwa tersebut.

Dalam hal benda sitaan, sebagaimana dimaksud telah dilelang dan penetapan tersangka terhadap Korporasi dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan atau penyidikan maupun penuntut terhadap Korporasi dihentikan berdasarkan surat penetpan penghentian penyidikan atau penuntutan, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan praperadilan berkekuatan hukum tetap atau sejak surat penetapan penghentian penyidikan atau penuntutan berlaku.

Dalam hal benda sitaan telah dilelang berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap dinyatakan benda sitaan tersebut tidak dirampas untuk negara, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan sebagaimana dimaksud di atas terdapat bunga keuntungan maka perampasan atau pengambilan uang hasil lelang benda sitaan juga disertai dengan bunga keuntungan yang diperoleh dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan tersebut.

Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana

Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Putusan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

1. Putusan

Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus. Hakim menjatuhkan pidana didasarkan pada masing-masing undang-undang yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi dan / atau Pengurus.

Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan / atau Pengurus tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan pemidanaan dan bukan pemidanaan terhadap Korporasi mencantumkan identitas sebagai berikut :
a.    Nama Korporasi;
b.    Tempat, tanggal pendirian dan / atau nomor anggaran dasar / akta pendirian / peraturan / dokumen / perjanjian serta perubahan terakhir;
c.    Tempat kedudukan;
d.    Kebangsaan Korporasi;
e.    Jenis Korporasi;
f.     Bentuk kegiatan / usaha; dan
g.    Identitas Pengurus yang mewakili.

Pasal 25 Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Korporasi sebagai berikut :
(1)  Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa pidana pokok dan / atau pidana tambahan.
(2)  Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
(3)  Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal Korporasi dan Pengurus diajukan bersama-sama sebagai terdakwa, putusan pemidanaan dan bukan pemidanaan mengikuti ketentuan di atas.

2. Pelaksanaan Putusan

Pelaksanaan putusan dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Petikan putusan dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan putusan.

Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda sebagaimana dimaksud, maka harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda.

Dalam hal pidana denda dijatuhkan kepada Pengurus, Pengurus diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya, Pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda yang dihitung secara proporsional. Pidana kurungan pengganti denda dilaksanakan setelah berakhirnya hukuman pidana pokok.

Pelaksanaan Pidana Tambahan atau Tata Tertib Terhadap Korporasi

Pidana tambahan atau tindakan tata tertib atau tindakan lain terhadap Korporasi dilaksanakan berdasarkan putusan Pengadilan.

Dalam hal Korporasi dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang bukti, maka perampasan barang bukti dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Dalam hal terdapat keuntungan berupa harta kekayaan yang timbul dari hasil kejahatan maka seluruh keuntungan tersebut dirampas untuk negara.

Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi dijatuhkan kepada korporasi, diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi. Dalam hal terdapt alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan. Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana dimaksud, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.


Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

No comments:

Post a Comment