Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi sebagai entitas atau subjek hukum
yang keberdaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya
korporasi ada kalanya juga melakukan berbagai tindakan pidana (corporate crime) yang membawa dampak
kerugian terhadap negara dan masyarakat.
Perbuatan
pidana atau tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang
dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan
itu.
Yang
dimaksud dengan tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan
llain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas
nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi
Dalam
kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan
hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban
pidana (criminal liability).
Banyak
undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum
korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu
penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak
pidana masih belum jelas, oleh karena itu Mahkamah Agung Republik Indonesia di
akihir tahun 2016 yaitu pada tanggal 21 Desember 2016 telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.
Pasal
2 Perma No. 13 Tahun 2016 tersebut mengatur bahwa Maksud dan tujuan pembentukan
tata cara penanganan perkara pidana oleh Korporasi adalah untuk :
a.
Menjadi
pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku
Korporasi dan / atau Pengurus;
b.
Mengisi
kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana
dengan pelaku Korporasi dan/ atau Pengurus; dan
c.
Mendorong
efektifitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi
dan / atau Pengurus.
Pertanggungjawaban Korporasi
Korporasi
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana
Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi. Namun bagaimana
menentukan kesalahan Korporasi sehingga Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap
Korporasi ? Pasal 4 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam
menjatuhkan pidana Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagai
berikut :
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan
atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan
untuk kepentingan Korporasi;
b.
Korporasi
membiarkan terjadinya tindak pidana ; atau
c.
Korporasi
tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan,
mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan
hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Yang
juga dipertegas dalam Perma tersebut adalah mengenai pertanggungjawaban
Korporasi jika seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti atau meninggal,
dalam Pasal 5 Perma No. 13 Tahun 2015 mengatur sebagai berikut :
“Dalam hal
seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak
mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban Korporasi.”
Yang
juga menjadi catatan adalah dalam Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur
mengenai pertanggungjawaban Korporasi yang mempunyai hubungan dengan Korporasi yag
terlibat tindak pidana :
“Dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh Korporasi dengan melibatkan induk Korporasi dan / atau Korporasi
subsidiari dan / atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing.”
Bagaimana pertanggungjawaban Korporasi dalam
Penggabungan, Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi ? Dalam hal
terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi maka pertanggungjawaban
pidana dikenakan sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan
terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau Korporasi hasil peleburan.
Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dikenakan
terhadap Korporasi yang dipisahkan dan / atau Korporasi yang melakukan
pemisahan dan / atau kedua-duanya sesuai dengan peran yang dilakukan. Dalam hal
Korporasi sedang dalam proses pembubaran, maka pertanggungjawaban
pidana tetap dikenakan terhadap Korporasi yang akan dibubarkan (Pasal 7 Perma
No. 13 Tahun 2016).
Korporasi
yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana, akan
tetapi terhadap aset milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan
kejahatan dan / atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakkan hukumnya
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Gugatan terhadap aset milik Korporasi yang diduga digunakan
untuk melakukan kejahatan dan / atau merupakan hasil kejahatan dapat diajukan
terhadap mantan pengurus, ahli waris atau pihak ketiga yang menguasai aset
milik Korporasi yang telah bubar tersebut.
Prosedur Pemeriksaan Korporasi
Pemanggilan
dan pemeriksaan Pengurus yang diajukan sebagai saksi, tersangka dan / atau
terdakwa dilaksanakan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku (Pasal 18 Perma No.
13 Tahun 2016). Lalu bagaimana prosedur pemeriksaan terhadap Korporasi ?
Berikut di paparkan di bawah ini.
1.
Pemanggilan
Sebelum
dilakukan pemeriksaan terhadap Korporasi, harus dilakukan panggilan terhadap
Korporasi, adapun tata cara sebagai berikut :
a.
Pemanggilan
terhadap Korporasi ditujukan dan disampaikan kepada Korporasi ke alamat tempat
kedudukan Korporasi atau alamat tempat Korporasi tersebut beroperasi.
b.
Jika
tidak dikrtahui alamatnya maka
pemanggilan ditujukan kepada Korporasi dan disampaikan melalui alamat tempat
tinggal salah satu Pengurus.
c.
Dalam
hal tempat tinggal maupun tempat kediaman Pengurus tidak diketahui, surat
panggilan disampaikan melalui salh satu media massa cetak atau elektronik dan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkara tersebut.
Adapun
isi surat panggilan terhadap Korporasi setidaknya memuat :
a. Nama Korporasi;
b. Tempat kedudukan;
c. Kebangsaan Korporasi;
d. Status Korporasi dalam perkara pidana
(saksi / tersangka / terdakwa);
e. Waktu dan tempat dilakukannya
pemeriksaan; dan
f. Ringkasan dugaan peristiwa pidana
terkait pemanggilan tersebut.
2.
Penyidikan
Pemeriksaan
terhadap Korporasi sebagai tersangka pada tingkat penyidikan diwakili oleh
seorang Pengurus. Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap Korporasi
memanggil Korporasi yang diwakili Pengurus dengan surat panggilan yang sah.
Pengurus
yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan dan telah dipanggil dengan surat
panggilan yang sah, wajib hadir dalam pemeriksaan Korporasi.
Dalam
hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak hadir, menolak hadir atau
tidak menunjuk Pengurus untuk mewakili Korporasi dalam pemeriksaan maka
penyidik menentukan salah seorang Pengurus untuk mewakili Korporasi dan
memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa Pengurus tersebut
secara paksa.
3.
Dakwaan
Surat
dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Bagaimana bentuk surat dakwaan terhadap Korporasi ?
Bentuk
surat dakwaan merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut
:
a. Nama Korporasi, tempat, tanggal
pendirian dan / atau nomor anggaran dasar / akta pendirian / peraturan /
dokumen / perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan
Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan / usaha dan identitas pengurus yang
mewakili; dan.
b. Uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
Pemeriksaan
pada tahap penyidikan dan penuntutan terhadap Korporsi dan / atau Pengurus
dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama (Psal 19 Perma No. 13
Tahun 2016)
4. Persidangan
Pengurus
yang mewakili Korporasi pada tingkat penyidikan wajib pula hadir pada
pemeriksaan Korporasi dalam sidang pengadilan. Bagaimana jika Pengurus tersebut
tidak hadir ?
Dalam
hal Pengurus yang mewakili Korporasi sebagai terdakwa telah dipanggil secara
patut tidak hadir dalam pemeriksaan tanpa alasan yang sah, hakim / ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum agar memanggil
kembali Pengurus yang mewakili Korporasi tersebut untuk hadir pada hari sidang
berikutnya. Namun apabila Pengurus tersebut tidak hadir maka hakim / ketua
sidang memerintahkan penuntut umum supaya Pengurus tersebut dihadirkan secara
paksa pada persidangan berikutnya.
Keterangan
Korporasi merupakan alat bukti yang sah. Sistem pembuktian dalam penanganan
tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam
undang-undang lainnya (Pasal 14 Perma No. 13 Tahun 2016).
Dalam
hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama
dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang
menjadi tersangka atau terdakwa. Namun tidak menutup bahwa Pengurus lainnya
yang tidak menjadi tersangka atau terdakwa dapat mewakili Korporasi (Pasal 15
Perma No. 13 Tahun 2016).
Bagaimana
perlakuan terhadap terhadap Korporasi yang tersangkut tindak pidana yang
dikhawatirkan membubarkan diri saat sedang menjalani proses pemeriksaan ? Dalam hal ada kekhawatiran Korporasi
membubarkan diri dengan tujuan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana,
baik yang dilakukan sesudah maupun sebelum penyidikan, Ketua Pengadilan Negeri
atas permintaan penyidik atau penuntut umum melalui suatu penetapan dapat menunda
segala upaya atau proses untuk membubarkan Korporasi yang sedang dalam proses
hukum sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap. Penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud hanya dapat diberikan sebelum permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang atau permohonan pailit didaftarkan. Pengecualian
: penetapan pengadilan tidak dapat diajukan terhadap Korporasi yang bubar
karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam dokumen pendirian
(Pasal 16 Perma No. 13 Tahun 2016).
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah siapa yang mewakili Korporasi jika terjadi
penggabungan atau peleburan, pemisahan, maupun pembubaran Korporasi ? Pasal 17 ayat (1) Perma No. 13 Tahun 2016
mengatur bahwa Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) maka pihak yang mewkili Korporasi
dalam pemeriksaan perkara adalah Pengurus saat dilakukan pemeriksaan perkara.
Berikut Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa :
Dalam hal terjadi penggabungan atau
peleburan Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan sebatas nilai harta
kekayaan atau aset yang ditempatkan terhadap Korporasi yang menerima
penggabungan atau Korporasi hasil peleburan.
Selanjutnya
dalam Pasal 17 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam hal
terjadi pemisahan Korporasi dalam pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (2) adalah Pengurus dari Korporasi yang menerima peralihan setelah
pemisahan dan / atau yang melakukan pemisahan. Berikut Pasal 7 ayat (2)
mengatur bahwa:
Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi,
maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Korporasi yang dipisahkan dan
/ atau Korporasi yang melakukan pemisahan dan / atau kedua-duanya sesuai dengan
peran yang dilakukan.
Selanjutnya
dalam Pasal 17 ayat (3) Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa dalam proses
pembubaran maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3) adalah likuidator. Berikut Pasal 7
ayat (3) mengatur bahwa :
Dalam hal Korporasi sedang dalam
proses pembubaran, maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan terhadap
Korporasi yang akan dibubarkan.
Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi
Kerugian
yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi
dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata (Pasal
20 Perma No. 13 Tahun 2016.
Penanganan Harta Kekayaan Korporasi
Harta
kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam
hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap
atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau
dapat mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin dengan persetujuan
tersangka atau kuasanya benda tersebut dapat diamankan atau dilelang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harta
kekayaan yang dilelang , tidak dapat dibeli oleh tersangka atau terdakwa dan /
atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat kedua,
hubungan semenda, hubungan keuangan hubungan kerja / manajemen, hubungan
kepemilikan dan / atau hubungan lain dengan tersangka atau terdakwa tersebut.
Dalam
hal benda sitaan, sebagaimana dimaksud telah dilelang dan penetapan tersangka
terhadap Korporasi dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan atau
penyidikan maupun penuntut terhadap Korporasi dihentikan berdasarkan surat
penetpan penghentian penyidikan atau penuntutan, maka uang hasil penjualan
lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak putusan praperadilan berkekuatan hukum tetap atau sejak
surat penetapan penghentian penyidikan atau penuntutan berlaku.
Dalam
hal benda sitaan telah dilelang berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap
dinyatakan benda sitaan tersebut tidak dirampas untuk negara, maka uang hasil
penjualan lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam
hal dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan sebagaimana dimaksud di
atas terdapat bunga keuntungan maka perampasan atau pengambilan uang hasil
lelang benda sitaan juga disertai dengan bunga keuntungan yang diperoleh dari
penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan tersebut.
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana
Kewenangan
menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap Korporasi hapus karena
daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Putusan dan Pelaksanaan Putusan
Pengadilan
1.
Putusan
Hakim
dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan
Pengurus. Hakim menjatuhkan pidana didasarkan pada masing-masing undang-undang
yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi dan / atau Pengurus.
Penjatuhan
pidana terhadap Korporasi dan / atau Pengurus tidak menutup kemungkinan
penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang
terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Putusan
pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan pemidanaan dan bukan
pemidanaan terhadap Korporasi mencantumkan identitas sebagai berikut :
a.
Nama
Korporasi;
b.
Tempat,
tanggal pendirian dan / atau nomor anggaran dasar / akta pendirian / peraturan
/ dokumen / perjanjian serta perubahan terakhir;
c.
Tempat
kedudukan;
d.
Kebangsaan
Korporasi;
e.
Jenis
Korporasi;
f.
Bentuk
kegiatan / usaha; dan
g.
Identitas
Pengurus yang mewakili.
Pasal
25 Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap
Korporasi sebagai berikut :
(1) Hakim menjatuhkan pidana terhadap
Korporasi berupa pidana pokok dan / atau pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
(3) Pidana tambahan dijatuhkan terhadap
Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam
hal Korporasi dan Pengurus diajukan bersama-sama sebagai terdakwa, putusan
pemidanaan dan bukan pemidanaan mengikuti ketentuan di atas.
2.
Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan
putusan dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap. Petikan putusan dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan putusan.
Dalam
hal pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1
(satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda
tersebut. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan. Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda
sebagaimana dimaksud, maka harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk membayar denda.
Dalam
hal pidana denda dijatuhkan kepada Pengurus, Pengurus diberikan jangka waktu 1
(satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda
tersebut. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan. Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya,
Pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda yang dihitung secara
proporsional. Pidana kurungan pengganti denda dilaksanakan setelah berakhirnya
hukuman pidana pokok.
Pelaksanaan Pidana Tambahan atau Tata
Tertib Terhadap Korporasi
Pidana
tambahan atau tindakan tata tertib atau tindakan lain terhadap Korporasi
dilaksanakan berdasarkan putusan Pengadilan.
Dalam
hal Korporasi dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang bukti,
maka perampasan barang bukti dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak
putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat
diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Dalam hal terdapat keuntungan berupa
harta kekayaan yang timbul dari hasil kejahatan maka seluruh keuntungan
tersebut dirampas untuk negara.
Korporasi
yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi,
tata cara pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi
dan restitusi dijatuhkan kepada korporasi, diberikan jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi. Dalam hal terdapt alasan kuat, jangka waktu
dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan. Jika terpidana Korporasi
tidak membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana dimaksud,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi.
Korporasi
yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan kerusakan akibat dari tindak
pidana, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
No comments:
Post a Comment